Solo atau Surakarta adalah kota tempat saya
tinggal, nah penasaran kan asal mula kota ini. Monggo dibaca... :-)
Solo atau Surakarta merupakan nama sebuah kota yang berada di Provinsi Jawa Tengah. Kota
ini terletak pada jalur strategis, yang mempertemukan jalur dari arah Jakarta ke Surabaya atau Bali, dari arah Semarang dan dari
Yogyakarta menuju Surabaya dan Bali, atau sebaliknya.
Sejarah kota ini bermula saat kerajaan (Keraton)
Kartasuro telah mengalami kerusakan sangat parah akibat perang antara Baginda
(Sunan Pakubuana/PB II) dengan Sunan Kuning (1742). Berkat bantuan VOC, PB II dapat merebut kembali keraton
Kartasura. Tentu saja
bantuan tersebut tidak gratis akan tetapi dengan mengorbankan beberapa
wilayah warisan Mataram untuk
diberikan pada VOC.
Selain itu pemberontakan juga telah mengakibatkan
hancurnya bangunan keraton. Hancurnya
bangunan keraton dinilai telah menghilangkan kesaktian keraton karena pemberontak itu telah masuk kedalam keraton, sehingga akan mempengaruhi pamor dan wibawa kerajaan, oleh
karena itu sudah tidak tepat kalau terus mempertahankan keraton Kartasuro
sebagai pusat pemerintahan atau ibu kota kerajaan Mataram.
Berawal dari situ, maka PB II menunjuk beberapa
orang narapraja diantaranya: Tumenggung Honggowongso, Adipati Pringgoloyo,
Adipati Sindurejo, Tumenggung Mangkuyudo, Tumenggung Pusponegoro, Ngabei
Yosodipuro, Mayoor Hogengdarp, yang kemudian ditambah dengan Pangeran Wijil,
Tumenggung Tirtiwigunio, Kyai Kalifah Buyut dan Penggulu Fekih Ibrahim, untuk
mencari tempat yang akan dijadikan sebagai pusat pemeritahan kerajaan.
Setelah melakukan pengembaraan ke berbagai
tempat, para narapraja tersebut akhirnya menemukan tiga tempat atau desa yaitu
Desa Kadipala, Desa Sala, dan desa Sana Sewu, yang bisa dijadikan sebagai pusat
pemerintahan baru. Setelah melakukan perundingan, akhirnya dipilihlah Desa Sala
untuk diajukan kepada Sunan PB II sebagai pusat keraton Mataram yang baru. Desa
Sala yang letaknya kurang lebih 10 Km sebelah timur kota Kartasuro.
Baginda menyetujui usulan tersebut, yang kemudian
oleh Sri Baginda Sunan Paku Buana II diberi nama Surakarta Hadiningrat. Pada
hari rabu tanggal 17 Syura 1670 atau 17 Februari 1745, pindahlah Baginda Sunan
Paku Buana II dari Kartasuro ke Surakarta Hadiningrat, perpindahan ini
dilaksanakan dengan kirab secara besar-besaran. Maka sejak saat itu Ibu kota Kerajaan
Mataram pindah dari Kartasuro ke Surakarta Hadiningrat. Peristiwa inilah yang
kemudian dijadikan sebagai dasar hari lahir kota Solo.
Dari desa Sala tersebut pusat pemerintahan
kerajaan Mataram dijalankan dan dikendalikan. Disebut sebagai desa Sala, karena
di desa tersebut hidup seorang tokoh masyarakat yang bijaksana bernama KYAI
SALA. Selain itu desa ini juga berawa-rawa dan penuh dengan pohon Sala yaitu
pohon tom atau nila, namun ada juga yang menyebut pohon sala sejenis pohon
pinus.
Kendati aslinya bernama Sala (pakai huruf a)
namun dalam perkembangannya berubah dan lebih akrab disebut Solo (pakai huruf
o), hal ini terjadi terjadi karena kesalahan orang Belanda dalam menyebut nama
kota ini karena memang lidah mereka tidak seluwes lidah orang Indonesia. Sejak
saat itu kemudian tidak hanya orang asing saja, akan tetapi masyarakat
Indonesia pun menyebut dengan SOLO. Penyebutan ini terasa lebih mudah
dilafalkan, dicerna dan memiliki makna yang khas dibanding nama resminya.
Nama Surakarta hadiningrat menjadi seperti kalah
pamor dibanding Solo karena sikap sang pemberi nama, Paku Buwono II, yang saat
itu pro kolonial. Surakarta kemudian dianggap menceriminkan watak kekuasaan,
kapitalis-kolonial, sementara Solo mencerminkan semangat kerakyatan (mengakar sebagaimana
asal namanya dari pohon Sala) dan memberi keteduan, keayoman pada rakyat
(rimbun dedaunan).
Bagi orang Solo, persoalan nama tersebut bukanlah
suatu masalah yang berarti. Persoalan itu hanya muncul dikalangan intelektual
akademis saja. Sebab bagi rakyat Solo, nama Surakarta pun diterima sebagai
bentuk penghormatan dan penghargaan kepada PB II, yang adalah pendahulu,
terlepas dari sikap pro kolonial dan lain sebagainya.
Dengan demikian baik nama Surakarta maupun Solo
keduanya akan senantiasa hadir, mencerminkan hubungan yang saling menghargai
antara pemimpin dan rakyat. Pemimpin itu harus senantiasa mengakar dan
mengayomi rakyatnya dan harus menjalankan amanat kepemimpinannya untuk
sebesar-besar kesejahteraan rakyatnya. Karena itulah, dibalik kepopuleran nama
Solo, teringat pula akan pohon Sala yang akan selalu mengakar dan merakyat.
Source
: Kompasiana
0 komentar:
Posting Komentar